Jumat, 03 Juni 2011

MANUSIA DAN PANDANGAN HIDUP

MANUSIA DAN PANDANGAN HIDUP

Suasana kelas VI B SD Suka Cerdas mendadak hening setelah Bu Wati guru Bahasa Indonesia masuk ke ruang kelas. Bu Wati memperhatikan semua muridnya. “Sebentar lagi kalian semua akan meninggalkan bangku SD dan melanjutkan ke bangku SMP. Untuk itu, ibu menyuruh kalian agar mempersiapkan sebuah karangan bebas tentang cita-cita kalian setelah selesai menamatkan pendidikan. Besok, satu per satu akan membacakan hasil karangannya di depan kelas,” kata Bu Wati kepada seluruh murid.
Tanpa diperintahkan lagi, seluruh anak didik yang berada di dalam kelas sibuk membuat karangan. Suasana yang tadinya hening mendadak riuh karena murid yang satu dengan murid yang lain saling menanyakan apa cita-citanya nanti. Melihat hal itu, Bu Wati meminta agar semua murid mengerjakannya sendiri-sendiri.
“Ingat, jangan ada yang saling mencontek karena cita-citamu itu adalah keinginan yang akan kalian raih sendiri,” tegas Bu Wati.
Di bangku belakang, Roni terlihat tidak bersemangat padahal teman sebangkunya yang bernama Tono sedang berpikir sambil menuliskan cita-citanya itu ke dalam buku. Roni bingung karena ia belum bisa memikirkan apa cita-citanya nanti karena kehidupan keluarganya yang masih serba kekurangan. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Bapaknya hanya penarik becak barang sedangkan ibunya hanya pembantu rumah tangga.
“Apa pantas aku memiliki sebuah cita-cita setelah selesai menamatkan sekolah…? Padahal aku ingin jadi seorang polisi agar bisa berdiri mengatur lalu lintas. Karena kulihat pakaian seragamnya bagus dan gagah,” desis Roni dalam hatinya.
Tak lama kemudian, bel pulang sekolah berbunyi. Bu Wati meminta kepada seluruh murid agar tugas dikerjakan di rumah dan dikumpulkan besok. Bu Wati akan memberikan penilaian kepada murid yang paling bagus dalam mengarang itu.

Dengan langkah yang tak bersemangat, Roni pulang menuju rumahnya. Setelah mengucapkan salam, ia masuk ke dalam rumah. Usai makan siang, ia menemui ayahnya yang sedang beristirahat di depan sambil menikmati hidangan kopi pahit yang dibuat oleh ibunya.
“Ayah, tadi ibu guru memberikan tugas mengarang tentang apa cita-cita setelah lulus pendidikan. Roni berkeinginan jadi seorang polisi. Agar bisa berdiri tegak di perempatan jalan mengatur lalu lintas karena Roni senang melihatnya. Dengan pakaian seragam yang bagus membuat bapak polisi lalu lintas itu terlihat gagah,” ucap Roni sambil memijit-mijit kaki ayahnya.

Mendengar ucapan putranya itu, ayah Roni tertawa terbahak-bahak.

“Roni, kau ini aneh. Cita-citamu ingin menjadi polisi lalu lintas. Dari mana jalannya bisa kau raih. Untuk biaya sekolahmu saja, ayah dan ibumu tepaksa ngutang ke Pak Muslim. Belum lagi, biaya sekolah adikmu Sri dan Dini. Syukur saja ayah dan ibumu bisa menyekolahkanmu sampai SD. Sedangkan untuk SMP nantinya? Ayah dan ibu belum tahu apakah bisa menyekolahkan kau nantinya. Jadi, jangan pernah berhayal bisa jadi polisi,” kata ayah Roni sambil tersenyum.

“Tapi, Yah. Si Tono yang bapaknya pedagang asongan di perempatan jalan itu mempunyai cita-cita ingin jadi seorang guru. Agar bisa membuat orang pintar dan cerdas. Malahan, si Rini yang bapaknya penjahit itu ingin menjadi seorang dokter. Agar bisa nantinya mengobati orang yang sakit,” ujar Roni panjang lebar.

Untuk kedua kalinya, ayah Roni tertawa terbahak-bahak setelah mendengar ucapan putranya itu.

“Dengar ya! Itu semua hanya khayalan saja. Dari mana mereka mendapat uang untuk bisa meraih cita-citanya itu? Tak usah kau dengar apa cita-cita mereka. Cukup tugasmu bagaimana menyelesaikan sekolah di SD dengan bagus. Biar nanti, ayah dan ibumu tinggal memikirkan biaya sekolah kedua adikmu itu,” ucap ayah Roni sambil memandang putranya.

Mendengar ucapan ayahnya, Roni langsung masuk ke dalam rumah. Ia menumpahkan semua kesedihannya karena keinginan atau cita-citanya yang bagus itu ternyata tidak mendapat dukungan dari ayahnya. Di dalam kamar, ia menangis tersedu.

“Mengapa ayah tidak memberi dukungan kepadaku…? Apa salah bila aku bercita-cita jadi polisi setelah selesai pendidikan, seorang petugas polisi lalu lintas itu kan mulia, mengatur arus lalu lintas dan manusia ke berbagai tujuan,” desis Roni sambil menangis.

Walaupun begitu, malam harinya Roni tetap mengerjakan tugas dari gurunya. Karena ia tak mau nanti dimarahi gurunya gara-gara tidak mengerjakan tugas. Dengan serius, ia menuliskan keinginannya untuk menjadi seorang polisi walau ayahnya tidak mendukung cita-citanya itu.

Keesokan harinya setelah usai sarapan pagi bersama kedua orangtuanya dan juga adiknya. Roni mengucapkan salam untuk pergi ke sekolah. Ia mencium telapak tangan kedua orangtuanya. Dengan riang gembira, Roni terlihat bersemangat berjalan ke sekolah.

Setelah bel tanda masuk berbunyi, para murid SD Suka Cerdas segera berbaris rapi masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Kedatangan Bu Wati disambut dengan ucapan salam dari seluruh muridnya dan menyuruh semua muridnya untuk kembali duduk.

“Sekarang keluarkan tugas mengarang yang ibu suruh kemarin. Ibu akan memberikan nilai kepada murid yang paling bagus dalam menuangkan cita-citanya,” ujar Bu Wati kepada seluruh murid.

Satu per satu murid mengeluarkan buku yang berisikan tugas mengarang. Dengan hati yangberdebar, setiap murid saling memperhatikan antara yang satu dengan yang lainnya ketika buku tugas itu dikumpulkan. Bu Wati dengan serius melihat isi karangan setiap muridnya. Kemudian, Bu Wati meminta kepada Roni untuk membacakan hasil karangannya di depan kelas. Roni tersedak dari lamunannya ketika Bu Wati memanggil namanya. Kemudian, ia berjalan ke depan dan membacakan hasil karangannya setelah Bu Wati memberikan buku tugas kepadanya.

“Cita-citaku ingin mejadi seorang polisi lalu lintas. Karena aku melihat pakaian seragamnya bagus dan penampilannya gagah serta berwibawa. Ia mengatur lalu lintas sambil meniupkan peluit. Sehingga arus lalu lintas berjalan lancar. Walau cita-citaku ini tidak mendapat dukungan dari orangtua, aku tetap berusaha keras untuk bisa mewujudkan keinginanku ini. Walau keadaan ekonomi keluarga kurang bagus tapi aku tidak mau diam dan berpangku tangan begitu saja. Aku akan tetap rajin belajar dan berusaha dengan sekuat tenaga agar nantinya cita-citaku ini dapat tercapai,” ucap Roni dengan bersemangat.

Setelah selesai membacakan hasil karangannya, Bu Wati tersenyum manis kepada Roni. Kemudian Bu Wati meminta kepada Rini untuk tampil di depan kelas membacakan hasil tugasnya. Begitu selanjutnya hingga semua murid bergiliran tampil di depan kelas. Bu Wati bangga usai mendengar cita-cita muridnya itu. Ada yang ingin jadi polisi, guru, dokter, atlit bahkan ada yang ingin jadi menteri.

“Itu semua adalah cita-cita yang bagus. Untuk itu, kalian harus tetap bersemangat dan rajin belajar. Walau keadaan ekonomi keluarga kurang bagus, jangan membuat kalian patah semangat dan akhirnya impian untuk meraih cita-cita itu kandas di tengah perjalanan. Bukan begitu, Roni? Raih keinginan kalian itu dengan cara belajar dan bekerja keras. Ibu yakin kedua orangtua kalian akan mendukung jika kalian mempunyai prestasi yang bagus. Tak ada orangtua yang tak ingin anaknya menjadi orang yang tak berguna,” ucap Bu Wati dengan panjang lebar memberi semangat.

Ternyata setelah semua tugas diperiksa dengan cermat oleh Bu Wati, Roni memperoleh angka sembilan. Karena hasil karangannya bagus dan menarik. Begitu melihat angka sembilan, Roni tersenyum bangga. Ia tak menyangka kalau hasil karangannya ternyata lebih baik dari teman-temannya.

Hingga akhirnya, ia mempunyai rencana ingin menunjukkan hasil karangannya kepada ayahnya. Agar ayahnya bisa mendukung cita-citanya yang ingin menjadi seorang polisi.

“Apa aku salah bila anak seorang tukang becak ingin menjadi polisi? Tidak! Itu tidak salah. Aku akan berusaha agar cita-citaku itu dapat terwujud nantinya,” desis Roni di dalam hatinya penuh semangat.

OPINI
Menurut saya, semua manusia berhak mempunyai cita-cita agar masa depannya menjadi cerah, tidak mengenal latar belakang apapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar